Hai,
Apakabar? Apakah harimu baik?
Oh, aku? Well, yeah.. cukup baik.. Disibukkan dengan berbagai tugas, dan kerja sampingan yang masih aku ambil di hari libur.
Apakah kamu masih gemar minum susu murni? Tapi sepertinya hot coffee latte yang kamu pesan kali ini lebih menarik ya.. Di luar dingin, sebentar lagi mungkin akan turun hujan.
Warung kopi ini memang tak pernah sepi ya, dan sangat bergengsi.. Tak heran aku bisa menemukanmu di sini. Kamu terlihat sangat tampan hari ini, tapi seingatku kamu memang tidak pernah terlihat tidak tampan. Kaos berwarna biru dan celana kain berwarna coklat muda. Aku ingat dulu mata kita pernah sering kali bertemu di tengah ramainya tamu-tamu undangan, di kota kecil yang letaknya jauh dari Yogyakarta, ketika belum terlintas di benak kita bahwa kita akan punya cerita. Aku masih ingat bahasa dari pandangan mata itu, pandangan tanpa perasaan berharapan namun cukup menyenangkan untuk dinikmati, hanya beberapa detik sebelum kita sama-sama tenggelam dalam malu-malu. Seperti bocah.
Aku masih ingat hari itu, hari di mana kita pernah berada sedekat jengkal, sebelum kita sama-sama kembali kepada kenyataan. Kita pernah sangat gila. Kita pernah ingin lari, tapi itu dulu. Dulu sekali, saat kita masih tergilas oleh api cinta yang memburu namun berakhir pilu.
Hai kamu, aku masih ingat hari-hari itu. Di mana aku bisa mendengar renyah nya tawa mu disepanjang perjalanan. Aku pernah senang membuatmu tertawa, aku pernah senang melakukan hal-hal konyol agar bisa mendengarmu tertawa, dan melihat gigi-gigimu yang rapih.
Aku masih ingat betapa aku pernah merasa sangat perih, sangat sakit karena hal-hal baru yang harus aku biasakan demi bisa bersamamu.
Aku tersenyum tipis, bukan karena masih terasa perih, tapi karena aku merasa bangga pernah bisa mengalami perasaan semacam ini. Aku pernah ingin sekali merampasmu dan menciummu di depan Tugu Jogja, agar semua orang tahu tentang aku dan kamu, dan masih sangat ingat aku pernah menahan perasaan itu hingga kepayang. Aku memang tipe orang yang menjadi kurang sopan, sensitif dan serakah untuk sesuatu hal yang aku sayang, dan itu sangat buruk dan berbahaya. Aku pernah mati bersikap masa bodoh dan acuh tentang getirnya kenyataan namun berakhir keruh.
Dari semuanya itu aku paling ingat dengan hatimu, sangat lembut, sangat murni, dan aku tidak pernah menemukan yang sama lagi sejak saat itu.
Hari ini, di warung kopi ini kamu memilih topik yang sederhana, kamu mengutarakannya dengan sangat ringan, sambil sesekali tertawa, sesekali menunduk memainkan jari telunjuk melingkar-lingkarkannya di bibir cangkir kopi mu yang masih terlihat tipis berasap. Kamu terlihat sangat bahagia, dan aku tersadar aku juga merasa bahagia melihatmu seperti ini, perasaan ini ternyata masih ada. Kali ini dengan kedewasaan dan keikhlasan.
Aku tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih lebar, sebelum akhirnya aku tersadar aku hanya berada di balik jendela. Mungkin aku harus bergegas pulang, sebelum buku-bukuku basah terkena hujan.
Kemudian aku pergi berlalu..